Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan
kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah
Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak
dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada
masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak
zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan
dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian
batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku
Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX.
Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai
awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang
dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan
dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat
perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian
Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan
Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk
pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja
Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas
dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga
serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut
raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini
dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya
masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat
dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam
rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya,
batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian
menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun
pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah
hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan
asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon
mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari
soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.
Jaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit,
pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo
adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit
semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan
Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit
berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan
didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan
Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian
terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama
daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah
itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan
tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan
oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran
yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama
Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan
keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah
Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain
juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali,
Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten
Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa
orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan
yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan
obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi
dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia
kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto.
Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik
dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha
batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo,
Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai
pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring
dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi,
pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha
kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan
timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu
pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan
pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto
sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir
sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya
putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang
dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan
didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai
peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun
1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun
perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa
Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah
ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto
dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik
Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda
dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian
dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah
timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan
Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus
desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang
kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan
ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik
zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna
babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna
lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala
terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha
batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung
pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa
keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung.
Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan
di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat
pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya
batik tulis.
Jaman Penyebaran Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di
Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran
Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni
batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan
agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah
Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit
yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro
Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan
yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.
Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari
ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang
dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari
ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu
ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid
yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden
Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu
oleh raja Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton.
Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan
Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya.
disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren
ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari
kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di
Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan
menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan
dan agama.
Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah
daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini
meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari,
Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari,
Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai
dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari
kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi.
Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari
tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia
kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang
dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee
Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal
batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah
sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo
banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik
di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo
setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia
kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori
biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal
seluruh Indonesia.
Batik Solo dan Yogyakarta
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad
17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya
di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi
dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian.
Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat batik dikembangkan
menjadi komoditi perdagamgan.
Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya
batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan
yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai
bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal
sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan
“Sidomukti” dan “Sidoluruh”.
Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal
semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan raj any a Panembahan
Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered.
Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga
kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu.
Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga
kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara.
Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun
wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik.
Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat
dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh
keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah
pembatikan keluar dari tembok kraton.
Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga
raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka
banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap
didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan,
dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainy a.
Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah
itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia
dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi
inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau
Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah
baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang
pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan
daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur
dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga
dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak
batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain
itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang
ke arah Barat batik berkem-bang di Banyumas, Pekalongan,
Tegal, Cirebon.
Perkembangan Batik di Kota-kota lain
Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja
dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah
selesa-inya peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menet-ap
didaerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah
Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja.
Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama
dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi
warna merah kesemuan kuning.
Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja
dan pada akhir abad ke-XIX berhubungan langsung dengan pembatik
didaerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas
sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan wama khususnya
dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia
kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina disamping
mereka dagang bahan batik. .
Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut
Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian
mengembangkan usaha batik di sekitara daerah pantai ini,
yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh
pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan
di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan
daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad ke-XIX. Perkembangan
pembatikan didaerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan
Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan
Yogya dan Solo.
Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya
perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah
kedaerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau kejasama
dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa
pengikut-pengikutnya kedaerah baru itu dan ditempat itu
kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan
untuk pencaharian.
Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan
keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya dilihat
dari proses dan designya banyak dipengaruhi oleh batik dari
Demak. Sampai awal abad ke-XX proses pembatikan yang dikenal
ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri
dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru
dikenal pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar
negeri buatan Jerman dan Inggris.
Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekajangan
ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya
dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan
baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang
yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan
pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan pernah
buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke
perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi
dari pabrik gula.
Sedang pembatikan dikenal di Tegal akhir abad ke-XIX dan
bahwa yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil
dari tumbuh-tumbuhan: pace/mengkudu, nila, soga kayu dan
kainnya tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali
ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik,
dan kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran
batik Tegal waktu itu sudah keluar daerah antara lain Jawa
Barat dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha secara jalan
kaki dan mereka inilah menurut sejarah yang mengembangkan
batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatang-pendatang
lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.
Pada awal abad ke-XX sudah dikenal mori import dan obat-obat
import baru dikenal sesudah perang dunia kesatu. Pengusaha-pengusaha
batik di Tegal kebanyakan lemah dalam permodalan dan bahan
baku didapat dari Pekalongan dan dengan kredit dan batiknya
dijual pada Cina yang memberikan kredit bahan baku tersebut.
Waktu krisis ekonomi pembatik-pembatik Tegal ikut lesu dan
baru giat kembali sekitar tahun 1934 sampai permulaan perang
dunia kedua. Waktu Jepang masuk kegiatan pembatikan mati
lagi.
Demikian pila sejarah pembatikan di Purworejo bersamaan
adanya dengan pembatikan di Kebumen yaitu berasal dari Yogyakarta
sekitar abad ke-XI. Pekembangan kerajinan batik di Purworejo
dibandingkan dengan di Kebumen lebih cepat di Kebumen. Produksinya
sama pula dengan Yogya dan daerah Banyumas lainnya.
Sedangkan di daerah Bayat, Kecamatan Tembayat Kebumen-Klaten
yang letaknya lebih kurang 21 Km sebelah Timur kota Klaten.
Daerah Bayat ini adalah desa yang terletak dikaki gunung
tetapi tanahnya gersang dan minus. Daerah ini termasuk lingkungan
Karesidenan Surakarta dan Kabupaten Klaten dan riwayat pembatikan
disini sudah pasti erat hubungannya dengan sejarah kerajaan
kraton Surakarta masa dahulu. Desa Bayat ini sekarang ada
pertilasan yang dapat dikunjungi oleh penduduknya dalam
waktu-waktu tertentu yaitu “makam Sunan Bayat”
di atas gunung Jabarkat. Jadi pembatikan didesa Bayat ini
sudah ada sejak zaman kerjaan dahulu. Pengusaha-pengusaha
batik di Bayat tadinya kebanyakan dari kerajinan dan buruh
batik di Solo.
Sementara pembatikan di Kebumen dikenal sekitar awal abad
ke-XIX yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Yogya dalam
rangka dakwah Islam antara lain yang dikenal ialah: PenghuluNusjaf.
Beliau inilah yang mengembangkan batik di Kebumen dan tempat
pertama menetap ialah sebelah Timur Kali Lukolo sekarang
dan juga ada peninggalan masjid atas usaha beliau. Proses
batik pertama di Kebumen dinamakan teng-abang atau blambangan
dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo.
Sekitar awal abad ke-XX untuk membuat polanya dipergunakan
kunir yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen
ialah: pohon-pohon, burung-burungan. Bahan-bahan lainnya
yang dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.
Pemakaian obat-obat import di Kebumen dikenal sekitar tahun
1920 yang diperkenalkan oleh pegawai Bank Rakyat Indonesia
yang akhimya meninggalkan bahan-bahan bikinan sendiri, karena
menghemat waktu. Pemakaian cap dari tembaga dikenal sekitar
tahun 1930 yang dibawa oleh Purnomo dari Yogyakarta. Daerah
pembatikan di Kebumen ialah didesa: Watugarut, Tanurekso
yang banyak dan ada beberapa desa lainnya.
Dilihat dengan peninggalan-peninggalan yang ada sekarang
dan cerita-cerita yang turun-temurun dari terdahulu, maka
diperkirakan didaerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman
“Tarumanagara” dimana peninggalan yang ada sekarang
ialah banyaknya pohon tarum didapat disana yang berguna
un-tuk pembuatan batik waktu itu. Desa peninggalan yang
sekarang masih ada pembatikan dikerja-kan ialah: Wurug terkenal
dengan batik kerajinannya, Sukapura, Mangunraja, Maronjaya
dan Tasikmalaya kota.
Dahulu pusat dari pemerintahan dan keramaian yang terkenal
ialah desa Sukapura, Indihiang yang terletak dipinggir kota
Tasikmalaya sekarang. Kira-kira akhir abad ke-XVII dan awal
abad ke-XVIII akibat dari peperangan antara kerajaan di
Jawa Tengah, maka banyak dari penduduk daerah: Tegal, Pekalongan,
Ba-nyumas dan Kudus yang merantau kedaerah Barat dan menetap
di Ciamis dan Tasikmalaya. Sebagian besar dari mereka ini
adalah pengusaha-pengusaha batik daerahnya dan menuju kearah
Barat sambil berdagang batik. Dengan datangnya penduduk
baru ini, dikenallah selanjutnya pembutan baik memakai soga
yang asalnya dari Jawa Tengah. Produksi batik Tasikmalaya
sekarang adalah campuran dari batik-batik asal Pekalongan,
Tegal, Banyumas, Kudus yang beraneka pola dan warna.
Pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-XIX setelah
selesainya peperangan Diponegoro, dimana pengikut-pengikut
Diponegoro banyak yang meninggalkan Yogyakarta, menuju ke
selatan. Sebagian ada yang menetap didaerah Banyumas dan
sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap
di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Mereka ini merantau
dengan keluargany a dan ditempat baru menetap menjadi penduduk
dan melanjutkan tata cara hidup dan pekerjaannya. Sebagian
dari mereka ada yang ahli dalam pembatikan sebagai pekerjaan
kerajinan rumah tangga bagi kaum wanita. Lama kelamaan pekerjaan
ini bisa berkembang pada penduduk sekitarnya akibat adanya
pergaulan sehari-hari atau hubungan keluarga. Bahan-bahan
yang dipakai untuk kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan
catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, dan
sebagainya.
Motif batik hasil Ciamis adalah campuran dari batik Jawa
Tengah dan pengaruh daerah sendiri terutama motif dan warna
Garutan. Sampai awal-awal abad ke-XX pembatikan di Ciamis
berkembang sedikit demi sedikit, dari kebutuhan sendiri
menjadi produksi pasaran. Sedang di daerah Cirebon batik
ada kaintannya dengan kerajaan yang ada di aerah ini, yaitu
Kanoman, Kasepuahn dan Keprabonan. Sumber utama batik Cirebon,
kasusnya sama seperti yang di Yogyakarta dan Solo. Batik
muncul lingkungan kraton, dan dibawa keluar oleh abdi dalem
yang bertempat tinggal di luar kraton. Raja-raja jaman dulu
senang dengan lukisan-lukisan dan sebelum dikenal benang
katun, lukisan itu ditempatkan pada daun lontar. Hal itu
terjadi sekitar abad ke-XIII. Ini ada kaitannya dengan corak-corak
batik di atas tenunan. Ciri khas batik Cirebonan sebagaian
besar bermotifkan gambar yang lambang hutan dan margasatwa.
Sedangkan adanya motif laut karena dipengaruhioleh alam
pemikiran Cina, dimana kesultanan Cirebon dahulu pernah
menyunting putri Cina. Sementra batik Cirebonan yang bergambar
garuda karena dipengaruhi oleh motif batik Yogya dan Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar